Korupsi Mencederai Kohesivitas
* Refleksi atas Peristiwa Larantuka
Oleh Zaenal Abidin EP
Dirusaknya Kantor Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Larantuka,
Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sungguh merupakan peristiwa yang menyayat
hati. Ribuan massa mengamuk dan membakar tempat di mana rasa keadilan di negeri
ini dipertaruhkan. Tidak hanya itu, peristiwa ini juga amat mencengangkan
karena di balik peristiwa itu, baru sekali ini seorang agamawan dengan berani
menyuarakan kritiknya atas indikasi praktik korupsi yang dilakukan seorang
bupati (Kompas, 16/11).
Korupsi sebagai penyakit sosial yang melanda masyarakat kita
kenyataannya tidak lagi mengenal batas, apalagi jika hanya wilayah geografis.
Dapat dibayangkan, jika di sebuah kabupaten yang jauh dari pusat kekuasaan
(Jakarta) saja telah sedemikian terindikasi penyakit penipuan dan manipulasi
uang rakyat, siapa yang dapat menjamin jika daerah lain tidak melakukan hal
yang sama. Dan, siapa yang dapat menjamin daerah-daerah yang kebetulan secara
geografis dekat dengan pusat kekuasaan benar-benar bersih dari korupsi? Logika
ini juga mengarah pada sebuah premis kecil bahwa aliran ini akan menemukan
muaranya ke dalam bentuk pertanyaan yang ditujukan kepada pemegang pusat
kendali kekuasaan negeri ini. Apakah mereka juga terbebas dari indikasi
korupsi?
BERKACA dari peristiwa Larantuka, patut dibedah dengan
mengangkat asumsi sosiologis bahwa pertama, sejatinya isu korupsi amat melukai
rasa keadilan masyarakat. Kekecewaan masyarakat dewasa ini telah mencapai puncaknya
sehingga tidak lagi berpandangan cerah terhadap lembaga peradilan. Pandangan
masyarakat telah berubah menjadi sayu, dan kesayuan itu memancing timbulnya
rasa benci terhadap lembaga peradilan. Perusakan itu hanya merupakan letupan
dahsyat bom waktu yang telah tertanam lama dan mengaduk-aduk rasa keadilan
masyarakat, akibat tidak tegasnya lembaga peradilan dalam menuntaskan kasus
korupsi di negeri ini.
Kedua, lemahnya kinerja lembaga peradilan dalam menyergap
rasa keadilan masyarakat menunjukkan fakta dan semakin tidak dapat dimungkiri
lagi. Lembaga yudikatif sebagai "Dewi Keadilan" telah timpang alias
berat sebelah. Sang Dewi pun amat terpaksa meneteskan air mata. Sensitivitas
lembaga peradilan telah membeku karena menjadi hitam putih. Padahal, dalam teori
keadilan, pihak yang berwenang memutuskan perkara di pengadilan harus merasakan
gejolak batin masyarakat. Masyarakat mempunyai logikanya sendiri dalam
memandang keadilan. Para hakim pun dituntut lebih sensitif terhadap tuntutan
masyarakat di luar pengadilan. Kehendak sebagian besar masyarakat dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi sang hakim untuk memutuskan sebuah perkara.
Poin yang terakhir ini sama sekali tidak dihiraukan hakim
dalam peristiwa Larantuka. Seorang agamawan tentu tidak dapat disamakan cara
menyikapinya dengan orang awam. Perlakuan terhadap tokoh agama tentu berbeda
dengan orang biasa. Bagaimanapun, masyarakat kita belum luntur rasa
penghormatannya terhadap keberadaan tokoh agama. Ditambah lagi, masyarakat di
wilayah Flores Timur (Flotim) amat menghormati keberadaan pastor melebihi yang
lain.
Ketiga, keputusan pengadilan juga telah merusak tatanan
kohesivitas masyarakat. Rasa kebersamaan dan senasib akibat badai krisis
multidimensi yang melanda selama ini, terkoyak akibat putusan pengadilan itu.
Padahal, sebelumnya masyarakat amat mengiba akan terciptanya penegakan hukum.
Mereka mengharapkan agar masa krisis ini segera lenyap.
Namun, harapan masyarakat meleset. Lembaga hukum telah
menjadi alat permainan bagi aparat penegak hukum untuk memutuskan hukum
sekehendak hatinya. Kenyataan ini memantikkan percikan api emosi yang merusak
tatanan kohesivitas masyarakat. Masyarakat yang semula diam dan teratur,
mendadak menjadi beringas. Ini disebabkan kinerja aparat penegak hukum yang
lemah. Lembaga hukum amat tidak berwibawa karena menjadi ajang kalkulasi
kepentingan dari sekelompok orang dengan mencoba mempermainkan keputusan hakim.
Dapat dimengerti jika sang sang hakim ibarat macan ompong karena telah
terintervensi pihak di luar lembaga peradilan.
Keempat, hubungan antara penguasa dan agamawan tidak
selamanya harmonis. Ketidakharmonisan ini boleh jadi karena dipicu kritik yang
dilontarkan agamawan terhadap perilaku penguasa. Menjadi menarik, apa yang
ditonjol-tonjolkan Orde Baru dengan jargon bersatunya agamawan dengan
pemerintah (ulama-umara) sejatinya hanya tindakan mengelabui dan membodohi
masyarakat. Jelas bahwa pemerintah memanfaatkan ketokohan agamawan di mata
masyarakat untuk mengelabui praktik ketidakadilan yang dilakukan pemerintahan
Orba sendiri. Coba kita ingat, berapa banyak agamawan yang berhasil
"dibeli" oleh pemerintah yang sebenarnya hanya untuk melindungi
praktik penyimpangan yang dilakukan pemerintah itu sendiri.
Agamawan memang pada tempatnya bila untuk mengontrol perilaku
masyarakat secara informal, tidak terkecuali mengontrol kinerja aparat
pemerintahan. Seruan agamawan amat penting didengar dalam rangka memberesi
borok kerusakan di negeri ini. Lebih dari itu, jika boleh mengandaikan apa yang
dilakukan pastor di Larantuka itu, sebenarnya merupakan penerjemahan secara
cantik "pakta antikorupsi" yang telah ditandatangani Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi dan Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Syafii Maarif yang diprakarsai Kemitraan, sebuah lembaga nirlaba,
di Jakarta (15/10) lalu.
Di sinilah tempatnya agamawan melakukan aksinya dengan
menyuarakan penolakan terhadap korupsi. Ini juga merupakan langkah konkret
tindakan agamawan yang tidak sekadar jargon semata, apalagi jika hanya
mengandalkan secarik kertas yang tidak berarti apa-apa.
PERISTIWA di Larantuka semakin menyadarkan kita, betapa
berbelitnya memberantas praktik korupsi di negeri ini. Korupsi kian tak
terbendung. Dugaan mark up dan penggelapan uang negara merebak dari tingkat
pusat hingga daerah. Penguasa daerah dengan salah kaprah mengejawantahkan
otonomi menjadi oto-money. Banyak pejabat daerah yang pekerjaan di daerahnya
terbengkalai karena lebih sibuk mondar-mandir di Jakarta. Peran legislatif
daerah juga kian jauh dari aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Tidak jarang
tindak keculasan di daerah adalah hasil "kongkalikong" eksekutif dan
legistatif daerah.
Lalu siapa lagi pihak yang mampu menjangkau perilaku
kebobrokan itu? Jika masyarakat kecil hanya menjadi obyek pembodohan aparat
daerah, ke mana harapan mekanisme kontrol itu dibangkitkan. Jawaban yang agak
tepat di antara sekian banyak elemen masyarakat adalah kehadiran tokoh agama.
Peran tokoh agama sebagai algojo praktik penyimpangan moral harus terus
didukung.
Suara agamawan amat mahal nilainya dalam kondisi bangsa
seperti ini. Rendahnya tingkat sumber daya manusia dan tingginya praktik
ketidakadilan ekonomi dan korupsi yang mendera bangsa ini tidak dapat dibiarkan
begitu saja. Penilaian lembaga internasional itu seharusnya menjadi cambuk dan
menggugah seluruh elemen bangsa untuk memperbaiki diri.
Perubahan harus segera dilakukan. Perubahan itu bukan dari
langit, tapi harus diusahakan secara sungguh-sungguh dan bersama-sama.
Setidaknya, upaya para agamawan dalam mendakwahkan perang terhadap praktik
ketidakadilan dan korupsi harus terus didukung seluruh elemen bangsa ini.