Pencarian

Ads 468x60px

Saturday, April 29, 2017

Korupsi Mencederai Kohesivitas ( Psikologi )

Korupsi Mencederai Kohesivitas
* Refleksi atas Peristiwa Larantuka

Oleh Zaenal Abidin EP

             Dirusaknya Kantor Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sungguh merupakan peristiwa yang menyayat hati. Ribuan massa mengamuk dan membakar tempat di mana rasa keadilan di negeri ini dipertaruhkan. Tidak hanya itu, peristiwa ini juga amat mencengangkan karena di balik peristiwa itu, baru sekali ini seorang agamawan dengan berani menyuarakan kritiknya atas indikasi praktik korupsi yang dilakukan seorang bupati (Kompas, 16/11).

              Korupsi sebagai penyakit sosial yang melanda masyarakat kita kenyataannya tidak lagi mengenal batas, apalagi jika hanya wilayah geografis. Dapat dibayangkan, jika di sebuah kabupaten yang jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) saja telah sedemikian terindikasi penyakit penipuan dan manipulasi uang rakyat, siapa yang dapat menjamin jika daerah lain tidak melakukan hal yang sama. Dan, siapa yang dapat menjamin daerah-daerah yang kebetulan secara geografis dekat dengan pusat kekuasaan benar-benar bersih dari korupsi? Logika ini juga mengarah pada sebuah premis kecil bahwa aliran ini akan menemukan muaranya ke dalam bentuk pertanyaan yang ditujukan kepada pemegang pusat kendali kekuasaan negeri ini. Apakah mereka juga terbebas dari indikasi korupsi?

                 BERKACA dari peristiwa Larantuka, patut dibedah dengan mengangkat asumsi sosiologis bahwa pertama, sejatinya isu korupsi amat melukai rasa keadilan masyarakat. Kekecewaan masyarakat dewasa ini telah mencapai puncaknya sehingga tidak lagi berpandangan cerah terhadap lembaga peradilan. Pandangan masyarakat telah berubah menjadi sayu, dan kesayuan itu memancing timbulnya rasa benci terhadap lembaga peradilan. Perusakan itu hanya merupakan letupan dahsyat bom waktu yang telah tertanam lama dan mengaduk-aduk rasa keadilan masyarakat, akibat tidak tegasnya lembaga peradilan dalam menuntaskan kasus korupsi di negeri ini.

         Kedua, lemahnya kinerja lembaga peradilan dalam menyergap rasa keadilan masyarakat menunjukkan fakta dan semakin tidak dapat dimungkiri lagi. Lembaga yudikatif sebagai "Dewi Keadilan" telah timpang alias berat sebelah. Sang Dewi pun amat terpaksa meneteskan air mata. Sensitivitas lembaga peradilan telah membeku karena menjadi hitam putih. Padahal, dalam teori keadilan, pihak yang berwenang memutuskan perkara di pengadilan harus merasakan gejolak batin masyarakat. Masyarakat mempunyai logikanya sendiri dalam memandang keadilan. Para hakim pun dituntut lebih sensitif terhadap tuntutan masyarakat di luar pengadilan. Kehendak sebagian besar masyarakat dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi sang hakim untuk memutuskan sebuah perkara.

           Poin yang terakhir ini sama sekali tidak dihiraukan hakim dalam peristiwa Larantuka. Seorang agamawan tentu tidak dapat disamakan cara menyikapinya dengan orang awam. Perlakuan terhadap tokoh agama tentu berbeda dengan orang biasa. Bagaimanapun, masyarakat kita belum luntur rasa penghormatannya terhadap keberadaan tokoh agama. Ditambah lagi, masyarakat di wilayah Flores Timur (Flotim) amat menghormati keberadaan pastor melebihi yang lain.

     Ketiga, keputusan pengadilan juga telah merusak tatanan kohesivitas masyarakat. Rasa kebersamaan dan senasib akibat badai krisis multidimensi yang melanda selama ini, terkoyak akibat putusan pengadilan itu. Padahal, sebelumnya masyarakat amat mengiba akan terciptanya penegakan hukum. Mereka mengharapkan agar masa krisis ini segera lenyap.

Namun, harapan masyarakat meleset. Lembaga hukum telah menjadi alat permainan bagi aparat penegak hukum untuk memutuskan hukum sekehendak hatinya. Kenyataan ini memantikkan percikan api emosi yang merusak tatanan kohesivitas masyarakat. Masyarakat yang semula diam dan teratur, mendadak menjadi beringas. Ini disebabkan kinerja aparat penegak hukum yang lemah. Lembaga hukum amat tidak berwibawa karena menjadi ajang kalkulasi kepentingan dari sekelompok orang dengan mencoba mempermainkan keputusan hakim. Dapat dimengerti jika sang sang hakim ibarat macan ompong karena telah terintervensi pihak di luar lembaga peradilan.

Keempat, hubungan antara penguasa dan agamawan tidak selamanya harmonis. Ketidakharmonisan ini boleh jadi karena dipicu kritik yang dilontarkan agamawan terhadap perilaku penguasa. Menjadi menarik, apa yang ditonjol-tonjolkan Orde Baru dengan jargon bersatunya agamawan dengan pemerintah (ulama-umara) sejatinya hanya tindakan mengelabui dan membodohi masyarakat. Jelas bahwa pemerintah memanfaatkan ketokohan agamawan di mata masyarakat untuk mengelabui praktik ketidakadilan yang dilakukan pemerintahan Orba sendiri. Coba kita ingat, berapa banyak agamawan yang berhasil "dibeli" oleh pemerintah yang sebenarnya hanya untuk melindungi praktik penyimpangan yang dilakukan pemerintah itu sendiri.

Agamawan memang pada tempatnya bila untuk mengontrol perilaku masyarakat secara informal, tidak terkecuali mengontrol kinerja aparat pemerintahan. Seruan agamawan amat penting didengar dalam rangka memberesi borok kerusakan di negeri ini. Lebih dari itu, jika boleh mengandaikan apa yang dilakukan pastor di Larantuka itu, sebenarnya merupakan penerjemahan secara cantik "pakta antikorupsi" yang telah ditandatangani Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif yang diprakarsai Kemitraan, sebuah lembaga nirlaba, di Jakarta (15/10) lalu.

Di sinilah tempatnya agamawan melakukan aksinya dengan menyuarakan penolakan terhadap korupsi. Ini juga merupakan langkah konkret tindakan agamawan yang tidak sekadar jargon semata, apalagi jika hanya mengandalkan secarik kertas yang tidak berarti apa-apa.

PERISTIWA di Larantuka semakin menyadarkan kita, betapa berbelitnya memberantas praktik korupsi di negeri ini. Korupsi kian tak terbendung. Dugaan mark up dan penggelapan uang negara merebak dari tingkat pusat hingga daerah. Penguasa daerah dengan salah kaprah mengejawantahkan otonomi menjadi oto-money. Banyak pejabat daerah yang pekerjaan di daerahnya terbengkalai karena lebih sibuk mondar-mandir di Jakarta. Peran legislatif daerah juga kian jauh dari aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Tidak jarang tindak keculasan di daerah adalah hasil "kongkalikong" eksekutif dan legistatif daerah.

Lalu siapa lagi pihak yang mampu menjangkau perilaku kebobrokan itu? Jika masyarakat kecil hanya menjadi obyek pembodohan aparat daerah, ke mana harapan mekanisme kontrol itu dibangkitkan. Jawaban yang agak tepat di antara sekian banyak elemen masyarakat adalah kehadiran tokoh agama. Peran tokoh agama sebagai algojo praktik penyimpangan moral harus terus didukung.

Suara agamawan amat mahal nilainya dalam kondisi bangsa seperti ini. Rendahnya tingkat sumber daya manusia dan tingginya praktik ketidakadilan ekonomi dan korupsi yang mendera bangsa ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Penilaian lembaga internasional itu seharusnya menjadi cambuk dan menggugah seluruh elemen bangsa untuk memperbaiki diri.


Perubahan harus segera dilakukan. Perubahan itu bukan dari langit, tapi harus diusahakan secara sungguh-sungguh dan bersama-sama. Setidaknya, upaya para agamawan dalam mendakwahkan perang terhadap praktik ketidakadilan dan korupsi harus terus didukung seluruh elemen bangsa ini.
 
Blogger Templates