“Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk 275 juta
penduduk Indonesia”
Sebelum kita membahas topik ini
lebih jauh lagi saya akan memberikan data dan fakta berikut:
158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
2 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
10 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM
158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
2 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
10 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM
Sumber : Litbang Kompas
Kini setelah membaca fakta diatas, apa yang ada dipikran anda? Cobalah melihat lebih ke atas sedikit, lebih tepatnya judul artikel ini. Yah, itu adalah usulan saya untuk beberapa kasus yang membuat hati di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat Negara.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa ini.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Dari sudut pandang psikologis, saya melihat terjadi penurunan kulaitas “usia psikologis” pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 20011, dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2001. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun. Maaf jika ini mengejutkan dan menyakitkan.
Walau tidak semua, tetapi kebanyakan saya temui memiliki kecenderungan seperti itu. Saya berulangkali bekerjasama dengan anak usia tersebut dan hasilnya kurang maksimal. Saya tidak “kapok” ber ulang-ulang bekerja sama dengan mereka. Dan secara tidak sengaja saya menemukan pola ini cenderung berulang, saya amati dan evaluasi perilaku dan karakter mereka. Kembali lagi ingat, disekolah pada umumnya tidak diberikan pendidikan untuk mengatasi persaingan pada dunia kerja. Sehingga ada survey yang mengatakan rata-rata setelah sekolah seorang anak perlu 5-7 tahun beradaptasi dengan dunia kerja dan rata-rata dalam 5-7 tahun tersebut pindah kerja sampai 3-5 kali. Hmm.. dan proses seperti ini sering disebut dengan proses mencari jati diri. Pertanyaan saya mencari “diri” itu didalam diri atau diluar diri? “saya cocoknya kerja apa ya? Coba kerjain ini lah” lalu kalau tidak cocok pindah ke lainnya. Kenapa tidak diajarkan disekolah, agar proses anak menjalani kehidupan di dunia yang sesungguhnya tidak mengalami hambatan bahkan tidak jarang yang putus asa karena tumbuh perasaan tidak mampu didalam dirinya dan seumur hidup terpenjara oleh keyakinannya yang salah.
Baiklah kembali lagi ke topik, Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Artinya, mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa ini.
Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Dari sudut pandang psikologis, saya melihat terjadi penurunan kulaitas “usia psikologis” pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 20011, dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2001. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun. Maaf jika ini mengejutkan dan menyakitkan.
Walau tidak semua, tetapi kebanyakan saya temui memiliki kecenderungan seperti itu. Saya berulangkali bekerjasama dengan anak usia tersebut dan hasilnya kurang maksimal. Saya tidak “kapok” ber ulang-ulang bekerja sama dengan mereka. Dan secara tidak sengaja saya menemukan pola ini cenderung berulang, saya amati dan evaluasi perilaku dan karakter mereka. Kembali lagi ingat, disekolah pada umumnya tidak diberikan pendidikan untuk mengatasi persaingan pada dunia kerja. Sehingga ada survey yang mengatakan rata-rata setelah sekolah seorang anak perlu 5-7 tahun beradaptasi dengan dunia kerja dan rata-rata dalam 5-7 tahun tersebut pindah kerja sampai 3-5 kali. Hmm.. dan proses seperti ini sering disebut dengan proses mencari jati diri. Pertanyaan saya mencari “diri” itu didalam diri atau diluar diri? “saya cocoknya kerja apa ya? Coba kerjain ini lah” lalu kalau tidak cocok pindah ke lainnya. Kenapa tidak diajarkan disekolah, agar proses anak menjalani kehidupan di dunia yang sesungguhnya tidak mengalami hambatan bahkan tidak jarang yang putus asa karena tumbuh perasaan tidak mampu didalam dirinya dan seumur hidup terpenjara oleh keyakinannya yang salah.
Baiklah kembali lagi ke topik, Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Artinya, mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
1. Pendidikan karakter di Indonesia
Di Indonesia, dengan berbagai persoalan yang dihadapi
oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk
memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan.
Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana Pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.
Balitbang Kemendiknas telah menyusun grand design pendidikan
karakter (2010), dimana dijelaskan bahwa secara psikologis dan sosial kultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks
interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan
sebagai berikut.
Olah
Pikir: Cerdas
|
Olah
hati:
Jujur
Bertanggung jawab
|
Olah
raga (Kinestetik):
Bersih,
Sehat, Menarik
|
Olah
Rasa dan Karsa:
Peduli
dan Kreatif
|
Setelah melakukan penelitian yang panjang, Balitbang Kemendiknas (2010:7) telah
menetapkan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini:
- 1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
- 2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
- 3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
- 4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan diberbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
Adapun nilai dasar yang dikembangkan dalam pembentukan
karakter dan budaya bangsa di Indonesia terdiri dari 18 nilai yang terincikan
sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai dan Deskripsi
Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
NO
|
NILAI
|
DESKRIPSI
|
1.
|
Religius
|
Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
|
2.
|
Jujur
|
Perilaku
yang didasarkan padaupaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
3
|
Toleransi
|
Sikap
dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
|
4.
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
|
5.
|
Kerja
Keras
|
Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6.
|
Kreatif
|
Berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
|
7.
|
Mandiri
|
Sikap
dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
|
8.
|
Demokratis
|
Cara
berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
|
9.
|
Rasa
Ingin Tahu
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
|
10.
|
Semangat
Kebangsaan
|
Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
|
11.
|
Cinta
Tanah Air
|
Cara
berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan
yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
|
12.
|
Menghargai
Prestasi
|
Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatuyang berguna
bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.
|
13.
|
Bersahabat/
Komunikatif
|
Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
|
14.
|
Cinta
Damai
|
Sikap,
perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman
atas kehadiran dirinya
|
15.
|
Gemar
Membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
|
16.
|
Peduli
Lingkungan
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
|
17.
|
Peduli
Sosial
|
Sikap
dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan.
|
18.
|
Tanggung
jawab
|
Sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
|
Dalam catatan tambahannya dijelaskan bahwa ada 5 nilai yang diharapkan menjadi
nilai minimal yang dikembangkan di setiap sekolah yaitu nyaman, jujur,
peduli, cerdas, dan tangguh/kerjakeras. Sekolah dan guru dapat
menambah atau pun mengurangi 18 nilai-nilai yang telah terincikan tersebut
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan hakekat materi
SK/KD dan materi bahasan suatu mata pelajaran.
2. Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul
Ada sebagian kecil kalangan berpandangan bahwa Pemerintah kurang serius dalam
membenahi sektor pendidikan. Sesuatu yang debatable karena
dari berbagai sudut pandang dan dimensi, pemerintah sangat berkomitmen untuk
meningkatkan taraf pendidikan. Mulai dari 20% anggaran khusus untuk
pendidikan, pembangunan bangunan sekolah-sekolah yang rusak, peningkatan
taraf hidup dan kualitas guru dan lain-lain.
Pendidikan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa karena melalui
pendidikan, dasar pembangunan karakter manusia dimulai. Yang masih hangat dalam
pikiran penulis, yang terlahir di era 70-an, di sekolah dasar kita dibekali
pendidikan karakter bangsa seperti PMP dan PSPB sampai akhirnya
diberikan bekal lanjutan model Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Pendidikan karakter merupakan salah satu hal penting untuk membangun
dan mempertahankan jati diri bangsa. Sayang, pendidikan karakter di
Indonesia perlu diberi perhatian lebih khusus karena selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai. Pendidikan karakter yang
dilakukan belum sampai pada tingkatan interalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan aspek
keilmuan dan kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter.
Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau
etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai
tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku
seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang
berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak
dini. Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak
dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat,
suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan
tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat
globalisasi mempunyai faktor-faktor negatif antara lain mulai lunturnya
nilai-nilai kebangsaan yang dianggap sempit seperti patriotisme dan
nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-nilai globalisasi dan
universalisasi.
Kekhawatiran terhadap pembangunan karakter bangsa yang dimulai dari pendidikan
usia dini menjadi perhatian khusus dari Presiden SBY. Dalam beberapa kesempatan
Sidang Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden mendiskusikan hal-hal yang menjadi
perhatian masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain
masih adanya isu dan tantangan sosial yang seharusnya dapat dipecahkan atas hasil
kontribusi sektor pendidikan. Sebagai contoh, meskipun bangsa ini telah
memiliki falsafah Pancasila dan ajaran agama, tetapi masih banyak terjadi aksi
kekerasan antar komunal atau antar umat beragama.
Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat
memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus 2012 yang
membahas Program Strategis Pemerintah di bidang Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat
disumbangkan oleh sektor pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai
sikap mental dan perilaku bagi bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap
toleransi harus dibangun, diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga
tingkat wajib belajar 9 atau 12 tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan
sesuatu yang baik. Wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan sebagai formative
years, yaitu waktu untuk membentuk karakter, nilai, sikap, dan
perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah dapat mengajarkan
sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan melekat lama.
Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara
lain National Summit dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan
pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden
SBY adalah sebagai berikut: “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan
modernisasi dewasa ini, watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi
kewajiban kita semua untuk membangun dan mengembangkannya. Character
building penting, sama dengan national development yang harus terus menerus
dilakukan. Marilah kita berjiwa terang, berpikir positif, dan bersikap
optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat apapun persoalan yang dihadapi
bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan kita akan bisa terus
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.
Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi
strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan
karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita
jalankan semua, mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia
unggul yang disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
- 1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
- 2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
- 3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan;
- 4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan;
- 5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa,Negara dan tanah airnya.
Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge,
tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan
perilaku. Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka
diharapkan dapat dibangun intellectual curiosity dan
membangun common sense. Tidak bisa ditunda lagi, generasi penerus
bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi 5
nilai manusia unggul di atas.
3. Mengapa Perlu Adanya Pendidikan Karakter?
Pendidikan karakter adalah
suatu hal yang saat ini ditekankan dalam pendidikan
di Indonesia. Nah dalam saya muncul berbagai pertanyaan tentang
pendidikan karakter. Diantaranya yaitu Mengapa perlu pendidikan
karakter? Apakah ”karakter” dapat dididikkan? Karakter apa yang perlu
dididikkan? Bagaimana mendidikkan aspek-aspek karakter secara efektif?
Bagaimana mengukur keberhasilan sebuah pendidikan karakter? Siapa yang harus
melakukan pendidikan karakter?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh
kebijakan yang menjadikan pendidikan karaktersebagai
”program” pendidikan nasional di Indonesia terutama dalam Kementerian
Pendidikan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. ”Pendidikan karakter” bukanlah
hal baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Untuk menjawab semua
tentang pendidikan karakter mari kita bahas satu persatu.
A. Mengapa perlu
pendidikan karakter?
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada
kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek
penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral,
Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan
Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara
saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga
merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum,
2000).
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan
pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi
cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik
(good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya,
tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya
jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar
apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit
kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang
kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan
kita sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait dengan problem moral
dan pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus moral yang pernah
menimpa kedua
Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu
saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi),
pendekatan dan metode kajian.
Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian
pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for
Character Education). Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian
multidisipliner: psikologi,
filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan
cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan
perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi
pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat,
menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada
perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut
berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat
kontekstual dan kultural.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia
Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya
pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan
tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan
membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai
yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada
nilai-nilai tertentu –seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan
adil– dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
B.
Pengertian Pendidikan Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang?. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang?. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya
Williams &
Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai
“any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”.
“any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”.
Maknanya dari pengertian pendidikan
karakter yaitu merupakan berbagai
usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan
bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu
anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli,
berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna
dari pengertian pendidikan karakter tersebut
awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan,
filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan,
penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan
karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut
secara langsung.
C. Tujuh Alasan
Perlunya Pendidikan Karakter
Menurut Lickona ada tujuh alasan mengapa
pendidikan karakter itu harus disampaikan:
1.
Merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak
(siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya;
2.
Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik;
3.
Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang
kuat bagi dirinya di tempat lain;
4.
Mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang
lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam;
5.
Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan
problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan,
pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah;
6.
Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku
di tempat kerja; dan
7.
Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari
kerja peradaban.
D.
Bagaimana Mendidik Aspek Karakter?
Pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media
untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini maka
sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan
dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang
melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan
peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran
tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak
yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).
Secara umum materi tentang
pendidikan karakter dijelaskan oleh
Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008: 442) yang melaporkan bahwa materi
pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa
paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan
karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan
secara signifikan hanya ada 10, yaitu:
1.
Perilaku seksual
2.
Pengetahuan tentang karakter
(Character knowledge)
3.
Pemahaman tentang moral sosial
4.
Ketrampilan pemecahan masalah
5.
Kompetensi emosional
6.
Hubungan dengan orang lain
(Relationships)
7.
Perasaan keterikan dengan sekolah
(Attachment to school)
8.
Prestasi akademis
9.
Kompetensi berkomunikasi
10.
Sikap kepada guru (Attitudes
toward teachers).
Otten (2000) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang
diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat sekolah sebagai suatu strategi
untuk membantu mengingatkan kembali siswa untuk berhubungan dengan
konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga dalam lingkungan
pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk berpartisipasi
aktif sebagai warga negara.
E. Peran Konselor
dalam Pendidikan Karakter di Sekolah
Jika pendidikan karakter diselenggarakan di
sekolah maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan sekaligus
koordinator program tersebut. Hal itu karena konselor sekolah yang memang
secara khusus memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian
sosial dan masalah-masalah kesehatan mental, dengan demikian konselor
sekolah harus sangat akrab dengan program pendidikan karakter.
Konselor sekolah harus mampu melibatkan semua pemangku
kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam
mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari program pelayanan dasar
yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi tentang pendidikan
karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan,
membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen konflik,
pencegahan penggunaan narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan
individual berupa kemampuan untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan,
dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara lain berupa
kegiatan konseling individu, konseling kelompok.